KOTA MALANG - Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) menyelenggarakan focus group discussion (FGD) bertema “Reformulasi Pengaturan Keadilan Restoratif Untuk Tindak Pidana Dengan Pelaku Dewasa”, Rabu (7/9/2022) di Hotel Atria Malang.
FGD tersebut diselenggarakan untuk mengkaji lebih dalam terkait implementasi Keadilan Restoratif tindak pidana dengan pelaku dewasa dan bagaimana pelaksanaannya jika dilakukan dengan peradilan adat.
Menurut Fachrizal, FGD ini merupakan bagian pelaksanaan dari Hibah penelitian doktor lektor kepala dan hibah pusatkan studi yang didukung oleh LPPM dan FH UB. Penelitian ini berfokus pada bagaimana peraturan-peraturan tentang Restorative Justice (RJ) dapat menyelesaikan perkara pidana dengan pelaku dewasa? Bagaimana koordinasi atau sinergitas antar aparat penegak hukum? Apa saja kendala yang dihadadapi dan bagaimana solusinya?
Ipda Aji Lukman Syah, SH perwakilan dari Kepolisian Resort Kota Malang menyebut RJ untuk pelaku dewasa sudah dilaksanakan terhadap perkara-perkara tertentu. Kendalanya terhadap si korban, korban ingin segera selesai akan tetapi pelaku tidak mau mengakui, mengingat pengakuan pelaku merupakan salah satu syarat kunci RJ.
Naili Ariyani, SH, MH dari DPC PERADI Malang Raya menyampaikan pengalaman lapangan selama proses mekanisme RJ dimulai dari tingkat kepolisian. Kendalanya adalah ada perbedaan dengan UU SPPA, dimana keadilan restoratif dalam UU SPPA wajib, baik di tingkat kepolisian, kejaksan sampai pengadilan, sedangkan untuk pelaku pelaku dewasa tidak ada jaminan seperti itu.
Kusbiantoro, SH, MH dari Kejaksaan Negeri Kota Malang mengatakan bahwa RJ adalah perintah langsung dari presiden dan kejagung. Berkaitan dengan RJ ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi semisal dengan nilai kerugian barang minimal 2, 5 juta kecuali ada limitatif, dan korban memaafkan.
Di samping itu, Kusbiantoro, SH, MH Kepala Seksi (Kasi) Pidana Umum (Pidum) Kejari Kota Malang juga berharap bahwa PERSADA UB sebagai perwakilan dari kalangan dan akademisi juga dapat turut serta dalam upaya mewujudkan restoratif yang berkeadilan bagi tindak pidana dengan pelaku dewasa, yakni dengan cara melakukan kajian-kajian penelitian yang berkaitan dengan keadilan restoratif baik dari segi dasar aturan hukum terkait, praktik di lapangan, maupun perubahan yang terjadi sebelum dan sebelum keadilan restoratif diterapkan.
Hakim Brelly yuniar, SH, MH dari Pengadilan Negeri Kota Malang memandang payung hukum menjadi salah satu penerapan RJ. Mahkamah Agung akan mengeluarkan SEMA tentang Restoratif Justice akan tetapi belum diterbitkan hingga saat ini. Semestinya RJ termuat dalam suatu UU karena ini tidak mungkin terjadi jika hanya memakai aturan-aturan Lembaga karena akan berdampak pada implementasi di lapangan.
Ketua Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas 1 Malang, Sugandi, SH, MH juga menambahkan bahwa di Indonesia, saat ini hanya ada 10 BAPAS yang ditunjuk sebagai pengawal pelaksanaan keadilan restoratif untuk tindak pidana dengan pelaku dewasaSugandi, SH, MH, menambahkan bahwa berharap perlu adanya sinergi antara Aparat Penegak Hukum (APH), Advokat, Kementerian, serta pihak terkait lainnya dalam pelaksanaan pelaksanaan keadilan restoratif.
Menyambung dengan harapan tersebut, seluruh responden juga bersepakat bahwa memang diperlukan adanya suatu payung hukum yang jelas dan seragam sebagai pedoman bersama bagi para Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pelaksanaan keadilan restoratif untuk tindak pidana dengan pelaku dewasa.
Selain BAPAS, Dinas Sosial P3AP2KB Kota Malang melalui perwakilannya yakni Dra. Titik K. Tri K. juga menyampaikan bahwa bagi pihak DINSOS, fokus penerapan keadilan restoratif DINSOS adalah pada upaya rehabilitasi sosial. Dalam forum FGD tersebut, Ketua dari YLBHI LBH Surabaya Pos Malang, Daniel Alexander Siagian, SH juga memberikan paparan mengenai kondisi objektif sulitnya pendampingan kasus struktur yang mana terdapat beberapa potensi ketidak-adilan yang muncul seperti adanya kriminalisasi, peradilan yang tidak adil, penyiksaan, anti-SLAPP, serta hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dan kamus.
Semua perwakilan penegak hukum yang berharap bahwa PERSADA UB dapat terus menjadi inisiator untuk pengadaan agenda-agenda serupa serta dapat terus ikut berperan dalam upaya mewujudkan sinergitas dari semua pihak terkait untuk mendukung pelaksanaan keadilan restoratif khususnya bagi tindak pidana dengan pelaku dewasa di Indonesia, baik dengan cara menjadi inisiator dalam pembentukan MoU, kerjasama, maupun upaya-upaya lain yang diperlukan.
Di akhir, sebelum menutup acara tersebut, Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., SH, MH selaku Ketua PERSADA UB yang juga sebagai fasilitator di diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pada intinya, pelaksanaan restoratif tentu berkaitan dengan proses penghentian, penghentian penelitian, diskresi jaksa, diskresi kepolisian, dan hal-hal terkait lainnya.
Pada dasarnya, segala bentuk proses yang berkaitan dengan hukum acara pidana memang harus diatur di dalam KUHAP. Ia juga menambahkan bahwa apabila terdapat keinginan dan tekad yang kuat, maka pembentukan peraturan bersama tentang pelaksanaan restoratif tersebut sangat dimungkinkan.
Cara efisien yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan cara melakukan perubahan secara parsial terhadap KUHAP. Maksudnya adalah bahwa pembentuk dapat memasukkan beberapa butir norma yang mengatur mengenai restoratif dalam KUHAP, tidak harus mengubah semua isi KUHAP, atau bisa melalui PERPU. Namun di sisi lain, kendala yang ada pada pelaksanaan sistem peradilan pidana Indonesia adalah pada upaya mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang menjadi PR bersama sejak pertama hingga saat ini.
Adapun yang menjadi peserta FGD adalah perwakilan dari Lembaga penegak hukum dan pihak terkait di Kota Malang dari Kepolisian Resort Kota Malang, DPC PERADI Malang Raya, Kejaksaan Negeri Kota Malang, Pengadilan Negeri Kota Malang, Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang, Dinas Sosial P3AP2KB Kota Malang, YLBHI LBH Surabaya Pos Malang serta perwakilan dari LPBH NU Kota Malang. (*)